A.
PERIKANAN DAN USAHA PERIKANAN
Berdasarkan
Undang- Undang Nomor 9 tahun 1985 tentang Perikanan adalah semua kegiatan yang
berkaitan erat dengan pengelolaan maupn pemanfaatan sumber daya ikan. Sumber
daya ikan meliputi berbagai jenis ikan termasuk biota perairan yang lain, yaitu
:
1.
Pisces (ikan bersirip)
2.
Crustacea ( udang,rajungan,kepiting dan
sebangsanya)
3.
Mollusca (kerang, tiram, cumi cumi, gurita,
siput dan sebangsanya)
4.
Coellenterata (ubur ubur dan sebangsanya)
5.
Echinodermata (tripang, bulu babi dan sebangsanya)
6.
Amphibia (kodok dan sebangsanya)
7.
Reptilia (buaya, penyu, ular dan sebangsanya)
8.
Mammalia ( paus, lumba lumba, pesut dan
sebangsanya)
9.
Algae (rumput laut dan sebangsanya)
10.
Biota perairan lainya yang ada
kaitanya dengan kesembilan dengan jenis biota tersebut.
Sejak
zaman dahulu kala sumber daya ikan sudah banyak dimanfaatkan manusia dan ini
berlangsung terus sampai sekarang. Diawali dengan cara “berburu” menangkap atau
mencari ikan, manusia mendapatkanya dan memprioritaskan untuk santapan
keluarga(subsistence type of fisheries). Kemudian, berkembangnya cara cara
pembudidayaan ikan, yang tampak muncul setelah manusia berpikir bahwa pada
saatnya nanti bisa saja “kehabisan ikan” terjadi kalau terus menerus ditangkap
tanpa memikirkan bagaimana “membuat” anak anaknya. Karena semakin banyak
manusia yang butuh makan termasuk ikan, maka pemanfaatan sumber daya yang
semula hanya untuk kebutuhan keluarga berubah menjadi bentuk yang berrsifat
komersial (comersial type of fisheries).
Usaha
perikanan ternyata sangat beragam, yang dimulai dari usaha menangkap ikan,
membudidayakan ikan, termasuk didalamnya bermacam- macam kegiatan, seperti
menyimpan, mendinginkan atau mengawetkannya ; untuk tujuan komersial yang
mendatangkan penghasilan dan keuntungan bagi manusia. Usaha penangkapan ikan
dilakukan di perairan bebas, dalam artian tidak sedang dalam pembudidayaan;
yaitu dilaut dan perairan umum(sungai,danau,waduk,rawa dan sejenisnya), dan
mempergunakan alat tangkap ikan. Pembudidayaan ikan ;merupakan kegiatan
memelihara atau membesarkan ikan termasuk melakukan pembenihan atau membiakan
ikan untuk menghasilkan benih; serta memanen hasilnya.
Dari
usaha perikanan salah satu yang diharapkan adalah memperoleh keuntungan usaha
yang tinggi, hal ini bisa memberikan dampak kurang menguntungkan bagi
kelestarian sumber daya ikan maupun kesinambungan usaha. Sumber daya ikan
dengan sifat sifat biologis yang dimiliki serta lingkungan yang menguntungkan
memang mempunyai “kekuatan pulih sendiri” (renewable resource), walaupun hal
itu tidak pulih berarti tidak terbatas. Jika manusia mengeksploitasi sumber
daya ikan semena –mena, dan bertentangan dengan kaidah kaidah pengelolaan
sumber daya yang rasional, usaha perikanan berjalan langgeng (lestari), bahkan
bisa saja berhenti setengah jalan karena sumbernya rusak atau habis. Dalam
hubungan ini maka perlu dipikirkan bagaimana mengantisipasi agar usaha
perikanan dapat berjalan berkesinambungan dan merupakan usaha yang
menguntungkan, yakni dengan melakukan pengaturan sehingga menjadi semakin bermanfaat
bagi umat manusia.
Menurut
James
A Cructhfield (Firial M. Dan Ian R. Smith, 1987): usaha perikanan yang
merupakan kegiatan ekonomi akan menempatkan prioritas motivasi ekonomi menjadi
paling depan. Hal ini bisa mengakibatkan gjala atau bahkan “lebih tampak” (over
fishing), suatu persoalan mendasar yang berhubungan dengan kelestarian sumber.
Sumber daya ikan sebagai milik bersama (common properti), dengan kondisi lebih
tangkap tersebut tidak akan dapat memperbaiki keadaanya, karena itulah
dibutuhkan peraturan dari pemerintah. Sebagai contoh misalnya, di banyak
wilayah Asia Tenggara, keadaan sumber- smber daya dapat diperbaharui, termasuk
penangkapan ikan mengalami kemunduran karena kekurangan pengelolaan maupun
pengendalian / pengaturan penggunaanya.
B.
PENGATURAN PERIKANAN
Mengingat
usaha perikanan seifatnya demikian kompleksnya, maka upaya pengaturan secara
keseluruhan akan memberikan dampak yang positif terhadap perkembangan usaha
prikanan itu sendiri. Sebagaimana diungkapkan oleh Beverton dalam Firial M.
Dan Ian R. Smith(1987) ; bahwa mortalitas pada perikanan tertentu secara
fungsional berhubungan dengan jumlah satuan penangkapan yang ikut serta
menangkap, kemampuan menangkap, jumlah waktu penangkapan, dan tersebarnya
aktifitas penangkapan di daerah perikanan( Fishing Gone) pada musim tertentu.
Selanjutnya menurut Antony Scot maksud, tujuan dan manfaat peraturan perikanan
meliputi :
Pertama, pengaturan diberlakukan guna
memberikan dorongan usaha, yang berhubungan dengan pelestarian sumber daya
ikan. Oeh karena itu sumber daya ikan adalah milik bersama, tentu bisa
dimanfaatkan setiap orang, berarti stock(populasi) ikan telah menjadi milik
umum.
Kedua, pengaturan perikanan akan
terkait dengan peningkatan kualitas atau kuantitas hasil tangkapan
peroangan/nelayan setiap tahun.
Misalnya, bentuk pengaturan yang melarang penangakapan ikan pada musim tertentu atau closed season adalah mencegah persaingan antar nelayan menangakap
ikan pada waktu tertentu, apabila dilanggar mengakibatkan kerusakan populasi.
Ketiga, demikian halnya dengan upaya
pemerataan usaha, itupun ditempuh melalui pengaturan perikanan, antara lain
dimaksudkan untuk melindungi yang lemah atau kelompok tertentu.
Keempat, mencegah pemborosan tenaga kerja dan
modal serta meningkatkan alokasi sumberdaya menjadi lebih berdaya guna. Hasil
tangkap per –satuan upaya (catch per strip uniteffort/CPUE) yang cenderung
meningkat mengakibatkan tangkapan per –satuan upaya semakin rendah. Pemilik
atau nelayan tidak menerima pendapatan sebagaimana diharapkan dan nelayan
lainya akan menipis hasil tangkapanya, sehingga kecenderungan yang terjadi
adalah dengan memperbesar mesin dan merapatkan mata jaring, demi memperoleh
hasil yang lebih besar.
Terkait
dengan masalah pemerataan, seperti dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945,
menenentukan bahwa:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar
besarnya bagi kemakmuran rakyat”.
Ketentuan
semacam ini merupakan landasan konstitusional dan sekaligus arah bagi
pengaturan berbagai hal yang berkaitan dengan sumberdaya ikan bagi kemakmuran
bangsa dan negara.
C.
UNDANG- UNDAN NOMOR 9 TAHUN
1985 TENTANG PERIKANAN
1.
Landasan strategis
Sebelum
keluar UU No.9 Tahun 1985 tentang perikanan, berdasarkan Aturan Peralihan Pasal
II UUD 1945 tercantum bahwa : “Segala
badan negara dan peraturan yang ada
masih langsung berlaku, selain belum diadakan yang baru menurut UUD ini”,
merupakan upaya hukum akibat terjadinya kekosongan hukum (Recht Facuum).
Artinya, sebelum Pemerintah bersama dengan DPR setempat melahirkan Undang-
Undang yang baru, maka ordonansi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia
Belanda masih diberlakukan ( termasuk ordonansi perikanan).
Namun demikian, sejak awal kemerdekaan kehidupan
perikanan di Indonesia memberikan kenampakan yang semakin berkembang, ordonansi
perikanan termasuk sudah tidak sesuai lagi. Ordonansi – ordonansi perikanan
yang ada jelas sudah tidak mungkin diberlakukan lebih lama. Oleh karena itu,
perlu ada Undang – Undang Perikanan sebagai penggantinya yang disesuaikan
dengan perkembangan kebutuhan. Beberapa landasan strategis sebagai pertimbangan
yang dipergunakan dalam penyusunan Undang- Undang Perikanan meliputi pertimbangan-
pertimbangan politik, sosial ekonomi, pengelolaan sumberdaya perikanan,
pengendalian sumber daya ikan, pengawasan dan pengendalian, prasarana
perikanan, dan penyesuaian dengan hukum laut nasional dan Internasional.
a.
Politik
Struktur
peraturan perundang- undangan negara merupakan salah satu sarana menegakan
eksistensi negara sesuai tujuan yang ingin di capai ditambah dengan berbagai
kepentingan yang perlu diamankan. Lebih lanjut, jika mencermati ordonansi
perikanan ternyata hanya mengatur perizinan penangkapan ikan dilengkapi syarat
syarat yang harus dipenuhi pemohon, serta adanya ancaman pidana. Kebujakan ini
semata mata hanya untuk kepentingan satu pihak, yaitu Pemerintahan Hindia
Belanda pada waktu itu. Sedangkan si pemilik izin akan selalu ada kecenderungan
memanfaatkan sumber daya ikan secara berlebihan (ekstraktif), agar memperoleh
untung sebesar- besarnya. Kondisi seperti ini mengakibatkan usaha dan
kepentingan perikanan tradisional menjadi terabaikan, termasuk juga kepentingan
rakyat Indonesia pada umumnya.
Ternyata,
ordonansi perikanan yang ada cakupanya demikian sempit, sehingga tidak mungkin
lagi dipergunakan sebagai landasan hukum untuk mengembangkan dan membangun
perikanan secara terencana. Karena itu, perlu Undang- Undang sebaga pedoman
bakunya, ditambah dengan maknanya sebagai pernyataan kepada dunia luar mengenai
sikap politik bangsa Indonesia yang secara konsekuen menerima Konvensi Hukum
Laut Internasional yang disahkan PBB pada tanggal 10 Desember 1982.
b.
Sosial Ekonomi
Sebagaimana
tujuan pembangunan nasional yang diarahakan untuk membangun manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan seluruh Rakyat Indonesia. Bertolak dari kerangka
dasar tersebut maka sumberdaya ikan merupakansatu modal dasar pelaksanaan
pembangunan nasional. Berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya ikan maka
pengaturan perikanan harus memberikan landasan yang kuat untuk:
1.
Meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat nelayan dan petani ikan;
2.
Mencukupi kebutuhan protein hewan
ikan (khusus ikan), dan sekaligus dapat memberikan motivasi dan semangat pada
nelayan dan petani ikan dalam meningkatkan produksinya,
3.
Mendorong peningkatan ekspor
nonmigas yang berasal dari perikanan ke manca negara;
4.
Memberikan kesempatan kerja lebih
luas untuk menampung tenaga kerja produktif.
Mengingat
kompleksitas aspek sosial ekonomi seperti tersebut diatas, dengan sendirinya
ordonansi- ordonansi perikanan Hindia Belanda sudah tidak bisa lagi menjangkau
sasaran/tujuan yang diharapkan. Berarti perlu pembenahan dengan pembaruan
terhadap peraturan perikanan sehingga bisa merangkum dan memecahkan berbagai
macam persoalan sosial ekonomi yang terus menerus berkembang.
c.
Pengelolaan Sumber daya Perikanan
Teknologi
perikanan terus berkembang pesat sejalan dengan meningkatnya ilmu dan teknologi
(iptek). Dibidang penangkapan ikan misalnya, dikenal peralatan elektronik
sebagai alat bantu penangkapan ikan yang produktif. Pengelolaan sumber daya
ikan hanya memikirkan tingkat produktifitas yang tinggi, tetapi diperlukan
adanya langkah-langkah pengendalian pemanfaatanya. Walaupun sumber daya ikan
bisa pulih sendiri (renewable), tapi tetap dilekati dengan keterbatasan,
sehingga pemanfaatanya harus rasional. Artinya, pemanfaatan sumberdaya ikan
harus mengarah pada tercapainya pemanfaatan seoptimal mungkin tanpa membahayakan
kelastarian. Langkah langkah pengendalian sumber daya ikan semacam ini mungkin
dilakukan berdasarkan ordonansi perikanan yang ada, sebab peraturan tersebut
tidak memberi arah terhadap cara pengelolaan sumber daya ikan yang wajar.
d.
Pengendalian Sumber daya Ikan
Sumber
daya ikan bisa pulih sendiri sesuai dengan sifat- sifat biologis dan adanya
dukungan lingkungan yang memadai. Namun demikian, adanya penangkapan ikan yang
tidak terkendali, pencemaran perairan, kerusakan lingkungan dan lain-lain bisa mengakibatkan
kelestarianya terganggu. Akan lebih parah lagi jika ini berjalan berkelanjutan
tapi mengakibatkan sumber daya ikan mengalami kepunahan, sehingga pada
gilirannya usaha perikanan menjadi terganggu.
e.
Pengawasan dan Pengendalian
Efisiensi
dan efektifitas penangkapan ikan ditunjang oleh perkembangan teknologi
perikanan. Gangguan terhadap kelesarian SDI tidak hanya disebabkan over
fishing, tetapi juga disebabkan penggunaan alat tangkap hasil temuan kemajuan
teknologi yang sebenarnya dilarang digunakan. Untuk mencegah dan memberantasnya
perlu dilakukan pengawasan yang dikenal dengan Monitoring, Controlling dan
Surveylance. Dalam kaitan ini petugas diberi kewenangan penuh untuk penyidikan
membantu pejabat penyidik umum yang berwenang. Kewenangan semacam ini
sebenlumnya tidak bisa dilaksanakan karena kurang mendapat perhatian sehingga
tidak tercantum didalam ordonansi perikanan.
f.
Prasarana Perikanan
Mengingat
pentingnya perikanan dalam rangka pembangunan nasional, maka pengadaan
prasarana perikanan sebagai penunjangnya mutlak diberikan. Prasarana perikanan
ini berupa pelabuhan perikanan, pangkalan pendaratan ikan maupun saluran-
saluran air kelokasi kolam dan pertambakan. Fungsi prasarana penting untuk
mendorong tumbuh dan berkembangnya usaha perikanan, dan sifat pelayananya
adalah untuk kepentingan umum (publik service). Dari itu perlu pengaturan
dengan tingkat yang memadai sesuai kebutuhan, menyangkut pengadaan,
pengelolaan, dan pengguanaanya, inipun belum tersurat dan bahkan dirasakan
tidak pula tersirat didalam ordonansi perikanan.
g.
Penyesuaian dengan Hukum Laut
Nasional dan Internasional
Perkembangan
hukum laut nasional dan internasional sudah berkembang demikian pesat, seperti
keluarnya hukum 04 prp Tahun1960 tentang perikanan Indonesia. Kemudian, dalam
konvensi hukum laut internasional, antara lain dicantumkan rezim hukum negara
kepulauan (arcipelagic principal) dan ZEE.
Khusus
menyangkut hukum ZEE telah dituangkan pengaturanya dengan UU No.05 tahun 1983
tentang ZEE Indonesia.
2.
DASAR PERTIMBANGAN
Sidang paripurna DPR RI pada waktu
melaksanakan RUU perikanan, dijelaskan bahwasanya dengan judul “Perikanan”
dimaksudkan sudah menampung dua aspek pokok, yaitu :
a.
Aspek pengelolaan yang dilakukan
oleh pemerintah dengan melaksanakan tugas penguasaan negara atas sumber daya
ikan;
b.
Aspek pemanfaatan yang mencakup
kegiatan “penangkapan ikan” dan “budidaya ikan” yang dilakukan oelh masyarakat
berdasarkan aturan- aturan yang di tetapkan oleh pemerintah.
Tiga dasar
pertimbangan yang dikemukakan untuk menyusun Undang- Undang tersebut, yaitu :
a.
Bahwa perairan wilayah negara
Republik Indonesia dan ZEE Indonesia mengandung SDI yang sangaat potensial dan
penting arti, peranan, dan pemanfaatanya sebagai modal dasar pembangunan untuk
mengupayakan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran,
b.
Pengelolaan SDI perlu dilakukan
sebaik baiknya berdasarkan keadilan dan pemerataan pemanfaatanya dengan
mengutamakan perlusan kesempatan kerja dan peningkatan taraf hidup, terbinanya
kelestarian SDI dan lingkunganya yang pada giliranya akan meningkatkan
ketahanan nasional;
c.
Peraturan perundang undangan
dibidang perikanan adanya ketidakjelasan luas jangkauanya dan kurang mampu
menampung perkembangan keadaan serta kebutuhan pembangunan dan pembangunan
hukum nasional pada khususnya sehingga dipandang perlu untuk menetapkan
ketentuan ketentuan baru dalam bentuk Undang- undang.
Undang – undang no. 9
tahun 1985 tentang perikanan di sahkan pada tanggal 19 Juni 1985, terdiri dari
11 bab dan 35 pasal, yaitu :
Bab I ketentuan umum
pasal 1
Bab II Wilayah Peikanan;
Pasal 2
Bab III Pengelolaan
Sumber Daya Ikan; Pasal 3- 8
Bab IV Pemanfaatan
Sumber Daya Ikan; Pasal 9-13
Bab V Pembinaan dan
Pengembangan; pasal 14- 20
Bab VI Penyerahan
Urusan dan Tugas Pembantuan; pasal 21-22
Bab VII Pengawasan
dan Pengendalian; Pasal 23
Bab VIII Ketentuan
Pidana; pasal 24-30
Bab IX ketentuan
ketentuan lain; pasal 31
Bab XI ketentuan
penutup; pasal 32-35
Bab XI Ketentuan
Penutup merupakan bagian yang sangat penting karena menunjukan bahwa ordonansi
Hindia Belanda masih diberlakukan sebelum ada Undang- Undang Perikanan. Namun,
dengan keluarnya Undang Undang Perikanan ordonansi Hindia Belanda dinyatakan
tidak berlaku lagi, seperti tercantum dalam bab XI pasal 33, yaitu :
a.
(Staatsbland Tahun 1816 No. 157) Undang Undang tentang Perikanan Mutiara dan Bunga
Karang;
b.
(Staatsbland Tahun 1920 No. 396) Undang Undang
Perikanan untuk Melindungi Ikan;
c.
(Staatsbland Tahun 1927 No. 145) Undang Undang Perburuan Ikan Paus
d.
(Staatsbland Tahun 1939 No.442) ordonansi laut teritorial dan
lingkungan maritim