Sabtu, 22 September 2012

Belajar Bermain Drum Menggunakan "Double Pedal"


double pedal

sebelum kita mempelajari bagaimana mempelajari double pedal ada baiknya kita tau apa gunanya double pedal. double pedal berguna untuk menjaga stamina kita saat bermain drum dalam permainan beat yang cepat.sehingga kita perlu tahu bagaimana posisi kaki pada pedal drum.ada dua posisi kaki pada pedal drum yaiti heel up (tumit diangkat) dan heel down (tumit enggak diangkat) namun yang dipakai dalam double pedal adalah teknik heel up(tumit diangkat) pasditengah pedal agar setamina lebih terjaga dan dan permainan beat pun lebih cepat. namun kendala yang sering terjadi saat bermain double pedal adalah kaki kiri yang tidak mampu mengimbangi kelincahan kaki kanan ini bisa diatasi dengan memainkan musik dimana posisi drum dibalik agar kaki kiri terbiasa dan ikut lincah malah keberadan tangan kiri juga ikut terlatih bila teman-teman melakukan latihan seperti ini namun bila teman-teman memiliki twin pedal tidak usah repot-repot membalikkan posisi drum.setelah itu teman-teman bisa melatih dengan lahihan linier grove (pukulan yang jatuh secara bergantian) dengan bergantian agar nanti bisa melakukan banyak variasi double pedal. Perlu di ingat bahwa sanya suara yang di hasilkan dalam permainan dua kaki haruslah sama itu tandanya permainan doble pedal anda sudah sempoa eh salah sempurna maksutnya....hehhehhe yang terakhir adalah tamen-teman mesti latihan yang tekun karna ketekunan membawa hasil kesempuraan dalam bermain musik. Selamat mencoba ! :D

PERIKANAN DAN USAHA PERIKANAN


A.   PERIKANAN DAN USAHA PERIKANAN

Berdasarkan Undang- Undang Nomor 9 tahun 1985 tentang Perikanan adalah semua kegiatan yang berkaitan erat dengan pengelolaan maupn pemanfaatan sumber daya ikan. Sumber daya ikan meliputi berbagai jenis ikan termasuk biota perairan yang lain, yaitu :
1.       Pisces (ikan bersirip)
2.       Crustacea ( udang,rajungan,kepiting dan sebangsanya)
3.       Mollusca (kerang, tiram, cumi cumi, gurita, siput dan sebangsanya)
4.       Coellenterata (ubur ubur dan sebangsanya)
5.       Echinodermata (tripang, bulu babi dan sebangsanya)
6.       Amphibia (kodok dan sebangsanya)
7.       Reptilia (buaya, penyu, ular dan sebangsanya)
8.       Mammalia ( paus, lumba lumba, pesut dan sebangsanya)
9.       Algae (rumput laut dan sebangsanya)
10.   Biota perairan lainya yang ada kaitanya dengan kesembilan dengan jenis biota tersebut.

Sejak zaman dahulu kala sumber daya ikan sudah banyak dimanfaatkan manusia dan ini berlangsung terus sampai sekarang. Diawali dengan cara “berburu” menangkap atau mencari ikan, manusia mendapatkanya dan memprioritaskan untuk santapan keluarga(subsistence type of fisheries). Kemudian, berkembangnya cara cara pembudidayaan ikan, yang tampak muncul setelah manusia berpikir bahwa pada saatnya nanti bisa saja “kehabisan ikan” terjadi kalau terus menerus ditangkap tanpa memikirkan bagaimana “membuat” anak anaknya. Karena semakin banyak manusia yang butuh makan termasuk ikan, maka pemanfaatan sumber daya yang semula hanya untuk kebutuhan keluarga berubah menjadi bentuk yang berrsifat komersial (comersial type of fisheries).
Usaha perikanan ternyata sangat beragam, yang dimulai dari usaha menangkap ikan, membudidayakan ikan, termasuk didalamnya bermacam- macam kegiatan, seperti menyimpan, mendinginkan atau mengawetkannya ; untuk tujuan komersial yang mendatangkan penghasilan dan keuntungan bagi manusia. Usaha penangkapan ikan dilakukan di perairan bebas, dalam artian tidak sedang dalam pembudidayaan; yaitu dilaut dan perairan umum(sungai,danau,waduk,rawa dan sejenisnya), dan mempergunakan alat tangkap ikan. Pembudidayaan ikan ;merupakan kegiatan memelihara atau membesarkan ikan termasuk melakukan pembenihan atau membiakan ikan untuk menghasilkan benih; serta memanen hasilnya.
Dari usaha perikanan salah satu yang diharapkan adalah memperoleh keuntungan usaha yang tinggi, hal ini bisa memberikan dampak kurang menguntungkan bagi kelestarian sumber daya ikan maupun kesinambungan usaha. Sumber daya ikan dengan sifat sifat biologis yang dimiliki serta lingkungan yang menguntungkan memang mempunyai “kekuatan pulih sendiri” (renewable resource), walaupun hal itu tidak pulih berarti tidak terbatas. Jika manusia mengeksploitasi sumber daya ikan semena –mena, dan bertentangan dengan kaidah kaidah pengelolaan sumber daya yang rasional, usaha perikanan berjalan langgeng (lestari), bahkan bisa saja berhenti setengah jalan karena sumbernya rusak atau habis. Dalam hubungan ini maka perlu dipikirkan bagaimana mengantisipasi agar usaha perikanan dapat berjalan berkesinambungan dan merupakan usaha yang menguntungkan, yakni dengan melakukan pengaturan sehingga menjadi semakin bermanfaat bagi umat manusia.
Menurut James A Cructhfield (Firial M. Dan Ian R. Smith, 1987): usaha perikanan yang merupakan kegiatan ekonomi akan menempatkan prioritas motivasi ekonomi menjadi paling depan. Hal ini bisa mengakibatkan gjala atau bahkan “lebih tampak” (over fishing), suatu persoalan mendasar yang berhubungan dengan kelestarian sumber. Sumber daya ikan sebagai milik bersama (common properti), dengan kondisi lebih tangkap tersebut tidak akan dapat memperbaiki keadaanya, karena itulah dibutuhkan peraturan dari pemerintah. Sebagai contoh misalnya, di banyak wilayah Asia Tenggara, keadaan sumber- smber daya dapat diperbaharui, termasuk penangkapan ikan mengalami kemunduran karena kekurangan pengelolaan maupun pengendalian / pengaturan penggunaanya.

B.    PENGATURAN PERIKANAN
Mengingat usaha perikanan seifatnya demikian kompleksnya, maka upaya pengaturan secara keseluruhan akan memberikan dampak yang positif terhadap perkembangan usaha prikanan itu sendiri. Sebagaimana diungkapkan oleh Beverton dalam Firial M. Dan Ian R. Smith(1987) ; bahwa mortalitas pada perikanan tertentu secara fungsional berhubungan dengan jumlah satuan penangkapan yang ikut serta menangkap, kemampuan menangkap, jumlah waktu penangkapan, dan tersebarnya aktifitas penangkapan di daerah perikanan( Fishing Gone) pada musim tertentu. Selanjutnya menurut Antony Scot maksud, tujuan dan manfaat peraturan perikanan meliputi :
Pertama,             pengaturan diberlakukan guna memberikan dorongan usaha, yang berhubungan dengan pelestarian sumber daya ikan. Oeh karena itu sumber daya ikan adalah milik bersama, tentu bisa dimanfaatkan setiap orang, berarti stock(populasi) ikan telah menjadi milik umum.
Kedua,                  pengaturan perikanan akan terkait dengan peningkatan kualitas atau kuantitas hasil tangkapan peroangan/nelayan setiap tahun.  Misalnya, bentuk pengaturan yang melarang penangakapan ikan pada  musim tertentu atau closed season adalah mencegah persaingan antar nelayan menangakap ikan pada waktu tertentu, apabila dilanggar mengakibatkan kerusakan populasi.
Ketiga,                  demikian halnya dengan upaya pemerataan usaha, itupun ditempuh melalui pengaturan perikanan, antara lain dimaksudkan untuk melindungi yang lemah atau kelompok tertentu.
Keempat,            mencegah pemborosan tenaga kerja dan modal serta meningkatkan alokasi sumberdaya menjadi lebih berdaya guna. Hasil tangkap per –satuan upaya (catch per strip uniteffort/CPUE) yang cenderung meningkat mengakibatkan tangkapan per –satuan upaya semakin rendah. Pemilik atau nelayan tidak menerima pendapatan sebagaimana diharapkan dan nelayan lainya akan menipis hasil tangkapanya, sehingga kecenderungan yang terjadi adalah dengan memperbesar mesin dan merapatkan mata jaring, demi memperoleh hasil yang lebih besar.
Terkait dengan masalah pemerataan, seperti dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, menenentukan bahwa:
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya bagi kemakmuran rakyat”.
Ketentuan semacam ini merupakan landasan konstitusional dan sekaligus arah bagi pengaturan berbagai hal yang berkaitan dengan sumberdaya ikan bagi kemakmuran bangsa dan negara.

C.     UNDANG- UNDAN NOMOR 9 TAHUN 1985 TENTANG PERIKANAN
1.       Landasan strategis
Sebelum keluar UU No.9 Tahun 1985 tentang perikanan, berdasarkan Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 tercantum bahwa : “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selain belum diadakan yang baru menurut UUD ini”, merupakan upaya hukum akibat terjadinya kekosongan hukum (Recht Facuum). Artinya, sebelum Pemerintah bersama dengan DPR setempat melahirkan Undang- Undang yang baru, maka ordonansi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda masih diberlakukan ( termasuk ordonansi perikanan).
Namun  demikian, sejak awal kemerdekaan kehidupan perikanan di Indonesia memberikan kenampakan yang semakin berkembang, ordonansi perikanan termasuk sudah tidak sesuai lagi. Ordonansi – ordonansi perikanan yang ada jelas sudah tidak mungkin diberlakukan lebih lama. Oleh karena itu, perlu ada Undang – Undang Perikanan sebagai penggantinya yang disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan. Beberapa landasan strategis sebagai pertimbangan yang dipergunakan dalam penyusunan Undang- Undang Perikanan meliputi pertimbangan- pertimbangan politik, sosial ekonomi, pengelolaan sumberdaya perikanan, pengendalian sumber daya ikan, pengawasan dan pengendalian, prasarana perikanan, dan penyesuaian dengan hukum laut nasional dan Internasional.
a.       Politik
Struktur peraturan perundang- undangan negara merupakan salah satu sarana menegakan eksistensi negara sesuai tujuan yang ingin di capai ditambah dengan berbagai kepentingan yang perlu diamankan. Lebih lanjut, jika mencermati ordonansi perikanan ternyata hanya mengatur perizinan penangkapan ikan dilengkapi syarat syarat yang harus dipenuhi pemohon, serta adanya ancaman pidana. Kebujakan ini semata mata hanya untuk kepentingan satu pihak, yaitu Pemerintahan Hindia Belanda pada waktu itu. Sedangkan si pemilik izin akan selalu ada kecenderungan memanfaatkan sumber daya ikan secara berlebihan (ekstraktif), agar memperoleh untung sebesar- besarnya. Kondisi seperti ini mengakibatkan usaha dan kepentingan perikanan tradisional menjadi terabaikan, termasuk juga kepentingan rakyat Indonesia pada umumnya.
Ternyata, ordonansi perikanan yang ada cakupanya demikian sempit, sehingga tidak mungkin lagi dipergunakan sebagai landasan hukum untuk mengembangkan dan membangun perikanan secara terencana. Karena itu, perlu Undang- Undang sebaga pedoman bakunya, ditambah dengan maknanya sebagai pernyataan kepada dunia luar mengenai sikap politik bangsa Indonesia yang secara konsekuen menerima Konvensi Hukum Laut Internasional yang disahkan PBB pada tanggal 10 Desember 1982.
b.      Sosial Ekonomi
Sebagaimana tujuan pembangunan nasional yang diarahakan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh Rakyat Indonesia. Bertolak dari kerangka dasar tersebut maka sumberdaya ikan merupakansatu modal dasar pelaksanaan pembangunan nasional. Berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya ikan maka pengaturan perikanan harus memberikan landasan yang kuat untuk:
1.       Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat nelayan dan petani ikan;
2.       Mencukupi kebutuhan protein hewan ikan (khusus ikan), dan sekaligus dapat memberikan motivasi dan semangat pada nelayan dan petani ikan dalam meningkatkan produksinya,
3.       Mendorong peningkatan ekspor nonmigas yang berasal dari perikanan ke manca negara;
4.       Memberikan kesempatan kerja lebih luas untuk menampung tenaga kerja produktif.
Mengingat kompleksitas aspek sosial ekonomi seperti tersebut diatas, dengan sendirinya ordonansi- ordonansi perikanan Hindia Belanda sudah tidak bisa lagi menjangkau sasaran/tujuan yang diharapkan. Berarti perlu pembenahan dengan pembaruan terhadap peraturan perikanan sehingga bisa merangkum dan memecahkan berbagai macam persoalan sosial ekonomi yang terus menerus berkembang.
c.       Pengelolaan Sumber daya Perikanan
Teknologi perikanan terus berkembang pesat sejalan dengan meningkatnya ilmu dan teknologi (iptek). Dibidang penangkapan ikan misalnya, dikenal peralatan elektronik sebagai alat bantu penangkapan ikan yang produktif. Pengelolaan sumber daya ikan hanya memikirkan tingkat produktifitas yang tinggi, tetapi diperlukan adanya langkah-langkah pengendalian pemanfaatanya. Walaupun sumber daya ikan bisa pulih sendiri (renewable), tapi tetap dilekati dengan keterbatasan, sehingga pemanfaatanya harus rasional. Artinya, pemanfaatan sumberdaya ikan harus mengarah pada tercapainya pemanfaatan seoptimal mungkin tanpa membahayakan kelastarian. Langkah langkah pengendalian sumber daya ikan semacam ini mungkin dilakukan berdasarkan ordonansi perikanan yang ada, sebab peraturan tersebut tidak memberi arah terhadap cara pengelolaan sumber daya ikan yang wajar.

d.      Pengendalian Sumber daya Ikan
Sumber daya ikan bisa pulih sendiri sesuai dengan sifat- sifat biologis dan adanya dukungan lingkungan yang memadai. Namun demikian, adanya penangkapan ikan yang tidak terkendali, pencemaran perairan, kerusakan lingkungan dan lain-lain bisa mengakibatkan kelestarianya terganggu. Akan lebih parah lagi jika ini berjalan berkelanjutan tapi mengakibatkan sumber daya ikan mengalami kepunahan, sehingga pada gilirannya usaha perikanan menjadi terganggu.

e.      Pengawasan dan Pengendalian
Efisiensi dan efektifitas penangkapan ikan ditunjang oleh perkembangan teknologi perikanan. Gangguan terhadap kelesarian SDI tidak hanya disebabkan over fishing, tetapi juga disebabkan penggunaan alat tangkap hasil temuan kemajuan teknologi yang sebenarnya dilarang digunakan. Untuk mencegah dan memberantasnya perlu dilakukan pengawasan yang dikenal dengan Monitoring, Controlling dan Surveylance. Dalam kaitan ini petugas diberi kewenangan penuh untuk penyidikan membantu pejabat penyidik umum yang berwenang. Kewenangan semacam ini sebenlumnya tidak bisa dilaksanakan karena kurang mendapat perhatian sehingga tidak tercantum didalam ordonansi perikanan.

f.        Prasarana Perikanan
Mengingat pentingnya perikanan dalam rangka pembangunan nasional, maka pengadaan prasarana perikanan sebagai penunjangnya mutlak diberikan. Prasarana perikanan ini berupa pelabuhan perikanan, pangkalan pendaratan ikan maupun saluran- saluran air kelokasi kolam dan pertambakan. Fungsi prasarana penting untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya usaha perikanan, dan sifat pelayananya adalah untuk kepentingan umum (publik service). Dari itu perlu pengaturan dengan tingkat yang memadai sesuai kebutuhan, menyangkut pengadaan, pengelolaan, dan pengguanaanya, inipun belum tersurat dan bahkan dirasakan tidak pula tersirat didalam ordonansi perikanan.
g.       Penyesuaian dengan Hukum Laut Nasional dan Internasional
Perkembangan hukum laut nasional dan internasional sudah berkembang demikian pesat, seperti keluarnya hukum 04 prp Tahun1960 tentang perikanan Indonesia. Kemudian, dalam konvensi hukum laut internasional, antara lain dicantumkan rezim hukum negara kepulauan (arcipelagic principal) dan ZEE.
Khusus menyangkut hukum ZEE telah dituangkan pengaturanya dengan UU No.05 tahun 1983 tentang ZEE Indonesia.
2.         DASAR PERTIMBANGAN
Sidang paripurna DPR RI pada waktu melaksanakan RUU perikanan, dijelaskan bahwasanya dengan judul “Perikanan” dimaksudkan sudah menampung dua aspek pokok, yaitu :
a.       Aspek pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah dengan melaksanakan tugas penguasaan negara atas sumber daya ikan;
b.      Aspek pemanfaatan yang mencakup kegiatan “penangkapan ikan” dan “budidaya ikan” yang dilakukan oelh masyarakat berdasarkan aturan- aturan yang di tetapkan oleh pemerintah.
Tiga dasar pertimbangan yang dikemukakan untuk menyusun Undang- Undang tersebut, yaitu :
a.       Bahwa perairan wilayah negara Republik Indonesia dan ZEE Indonesia mengandung SDI yang sangaat potensial dan penting arti, peranan, dan pemanfaatanya sebagai modal dasar pembangunan untuk mengupayakan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran,
b.      Pengelolaan SDI perlu dilakukan sebaik baiknya berdasarkan keadilan dan pemerataan pemanfaatanya dengan mengutamakan perlusan kesempatan kerja dan peningkatan taraf hidup, terbinanya kelestarian SDI dan lingkunganya yang pada giliranya akan meningkatkan ketahanan nasional;
c.       Peraturan perundang undangan dibidang perikanan adanya ketidakjelasan luas jangkauanya dan kurang mampu menampung perkembangan keadaan serta kebutuhan pembangunan dan pembangunan hukum nasional pada khususnya sehingga dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan ketentuan baru dalam bentuk Undang- undang.
Undang – undang no. 9 tahun 1985 tentang perikanan di sahkan pada tanggal 19 Juni 1985, terdiri dari 11 bab dan 35 pasal, yaitu :
Bab I ketentuan umum pasal 1
Bab II Wilayah Peikanan; Pasal 2
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Ikan; Pasal 3- 8
Bab IV Pemanfaatan Sumber Daya Ikan; Pasal 9-13
Bab V Pembinaan dan Pengembangan; pasal 14- 20
Bab VI Penyerahan Urusan dan Tugas Pembantuan; pasal 21-22
Bab VII Pengawasan dan Pengendalian; Pasal 23
Bab VIII Ketentuan Pidana; pasal 24-30
Bab IX ketentuan ketentuan lain; pasal 31
Bab XI ketentuan penutup; pasal 32-35
Bab XI Ketentuan Penutup merupakan bagian yang sangat penting karena menunjukan bahwa ordonansi Hindia Belanda masih diberlakukan sebelum ada Undang- Undang Perikanan. Namun, dengan keluarnya Undang Undang Perikanan ordonansi Hindia Belanda dinyatakan tidak berlaku lagi, seperti tercantum dalam bab XI pasal 33, yaitu :
a.       (Staatsbland Tahun 1816 No. 157) Undang Undang tentang Perikanan Mutiara dan Bunga Karang;
b.      (Staatsbland Tahun 1920 No. 396) Undang Undang Perikanan untuk Melindungi Ikan;
c.       (Staatsbland Tahun 1927 No. 145) Undang Undang Perburuan Ikan Paus
d.      (Staatsbland Tahun 1939 No.442) ordonansi laut teritorial dan lingkungan maritim